Pengamat Sebut Timah Butuh Benchmark dengan Single Market

Pemerintah diminta untuk mengkaji keputusan Menteri Perdagangan pada tahun 2019 terkait izin melantainya komoditas timah di Jakarta Foreign Exchange. Pasalnya kebijakan itu dinilai menyebabkan harga timah melorot. Pengamat ekonomi Rizal Calvary Marimbo mengatakan, untuk kembali menggairahkan harga timah, perlu ada kajian terhadap keputusan yang diambil oleh mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Dia mengungkapkan, pada tahun 2020, harga timah terus menurun sampai di bawah USD 15.000 per metric ton, harga ini lebih rendah dari sebelumnya US$ 5.000 per metrik ton. Alhasil negara kehilangan pendapatan devisa sebesar US$ 400 juta.

"Saya kira kita perlu menegakkan single market saja. Benchmark jangan kebanyakan. Akibatnya, harga timah jeblok sementara di secondary market kinclong," katanya. Muncul dua bursa yang kemudian dinilai merusak (disrupsi) acuan harga dan menyebabkan terpuruk nya timah. Dampaknya, perdagangan timah Indonesia melalui secondary market di Singapura meningkat tajam, naik sekitar 100% sepanjang semester I/2019 disebabkan oleh menurunnya kepercayaan pihak asing terhadap pasar Indonesia.

Peningkatan perdagangan melalui secondary market di Singapura tersebut, juga mengakibatkan meningkatnya country risk perdagangan timah murni batangan di Indonesia. Pelaku pasar timah, khususnya end user, lebih memilih pembelian timah asal Indonesia melalui Singapura karena Indonesia dinilai rendah dalam kepastian hukum terkait dengan perdagangan timah murni batangan. Meningkatnya country risk tersebut, juga mendegradasi kedaulatan Indonesia dalam menentukan harga timah, dan menurunkan kepercayaan global terhadap Indonesia. Untuk itu, Rizal mengharapkan, pemerintah mengembalikan kebijakan ekspor timah sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 tahun 2013. Dalam aturan tersebut tegas, harga timah Indonesia menjadi acuan harga timah murni dunia serta mencegah pelarian devisa hasil ekspor (DHE).

"Kita perlu menegakkan Permen Kemendag No 32 tahun 2013. Bursa cukup satu saja untuk mengangkat competitiveness timah kita," tutupnya. Sebelumnya, pengamat perdagangan Asia Tenggara, Abi Rekso mengungkapkan, semakin tertekan dengan terbaginya bursa perdagangan timah di Indonesia. Pada akhir 2019 Enggar membatalkan Peraturan Menteri Perdagangan No.32/M DAG/Per/6/2013 tentang Ekspor Timah. Dimana hal itu berkonsekuensi menjadikan dualisme bursa Timah Indonesia.

"Presiden Jokowi, perlu meninjau kembali kebijakan dua bursa perdagangan timah di Indonesia. Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan No.32/M DAG/Per/6/ 2013 tentang Ekspor Timah perlu dijalankan kembali. Karena dengan itu, harga timah Indonesia bisa kembali pulih karena menguatnya keyakinan pasar pembeli timah," kata dia. Berita Ini Sudah Tayang di KONTAN, dengan judul:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.